This journal will describe some forms of writing on the body and also the interpretation of the term of writing on the body. According to Certeau (1984, 134), writing is the concrete activity that consists in constructing, on its own, blank space-the page- a text that has power over the exteriority from which it has first been isolated. There are at least two interpretations when talking about writing on the human body. First, writing on the body can be understood as a real activity writing some texts on the surface of human’s bodies. The second, writing the body can also have a connotation meaning. It means that the body is marked or written of so many symbol and status that influenced by the socio cultural factors.
First of all, the body can be written of some text such through tattooing or piercing whether it is permanent or temporary thing. Some culture has this kind of habit of using the body as the media in writing some text. The text written can symbolize so many meaning. For example, in Yakuza organization in Japan, the tattoo in someone’s body can be the symbol of affiliation and the status of a particular person in the organization. Another example of using the body as the media for written text is in Dayak tribe culture in Borneo. The tattoo in their body can be the symbol of the maturity and also the social status in the community.
Secondly, the connotation meaning of writing the body is that the body has been marked and labelled by the written law and the socio cultural factors in the society. In the Holy Koran, the human body is depicted as a clean white paper when s/he is born. The human body is written and coloured by the influence of the parent, the socio cultural, the experience and any kind of factors that has contact with the growing body. Soon after born the baby will labelled as male or female. Then race or ethnicity also will be marked to the baby. The next thing is religion and then when the baby is grown up s/he will have the social status in the society. When s/he is following the fashion or music trend in this globalise society, s/he will add some more text into their body such as a rock person, a R & B person, a Nike person, a Esprit person and so on. Even until the body is pass away, it still has some marks. For instance, the society will recognise the death body as a good or bad person when s/he was still alive. While the body ends the journey in the world, it will has so many text, symbol, mark and label all over the body.
The connotation meaning of writing the body sometimes is one of the biggest problems in the history of human being. People cannot release themselves from the text written in their body. People can be fallen into trouble only because they have some label in their body. The history prove this phenomenon that can be seen from what happens to Jewish in the past, the Palestinian, the Bosnian, the Moslem, the Aboriginal people and there are still a long list of what can be caused by the writing the body.
Anang (2002)
Tuesday, September 09, 2008
Sunday, August 17, 2008
a good person
Hari ini secara tak sengaja aku ketemu Nugie Nugraha. Iya...yang penyanyi itu. Ketemunya di sebuah warung nasi ayam di daerah lippo karawaci Tangerang.
Ini pertemuan yang kedua sebenarnya. Yang pertama waktu aku jadi panitia konser Nugie di Undip Semarang tahun 1995. Waktu itu yang ngadain acara jurusan Komunikasi Undip angkatan '94. Angkatanku.
Yang istimewa dari kejadian tadi. Ketika aku menyapa Nugie dan mengingatkan sedikit tentang konser dia di Undip tahun 1995, dia langsung ingat detailnya dan bersemangat bercerita kepada teman-temannya yang makan bersamanya. Dan dia juga tetep RAMAH seperti ketika tahun 1995 dulu. 13 tahun yang lalu...
Memang kualitas kebaikan seseorang akan terlihat dengan cara apapun tak peduli kapan waktunya...demikian juga dengan kekurangan seseorang...
A good person will always be a good person...
Ini pertemuan yang kedua sebenarnya. Yang pertama waktu aku jadi panitia konser Nugie di Undip Semarang tahun 1995. Waktu itu yang ngadain acara jurusan Komunikasi Undip angkatan '94. Angkatanku.
Yang istimewa dari kejadian tadi. Ketika aku menyapa Nugie dan mengingatkan sedikit tentang konser dia di Undip tahun 1995, dia langsung ingat detailnya dan bersemangat bercerita kepada teman-temannya yang makan bersamanya. Dan dia juga tetep RAMAH seperti ketika tahun 1995 dulu. 13 tahun yang lalu...
Memang kualitas kebaikan seseorang akan terlihat dengan cara apapun tak peduli kapan waktunya...demikian juga dengan kekurangan seseorang...
A good person will always be a good person...
Labels:
human interest,
ketemu Nugie
Monday, July 21, 2008
from kung fu panda
YESTERDAY IS HISTORY...
TOMORROW IS MYSTERY...
TODAY IS A GIFT...THAT'S WHY IT'S CALLED PRESENT...
TOMORROW IS MYSTERY...
TODAY IS A GIFT...THAT'S WHY IT'S CALLED PRESENT...
Labels:
kata-kata mutiara,
kung fu panda,
nice words
A man and a kid
Last night, I got a surprising experience. I just get out of my office building and walking to ATM nearby my office. That was almost 10 pm. As I got in to the ATM, I saw a young man riding a bike. Behind him is a kid (I think it’s a boy). He ride his bike to the ATM. I thought he would use the ATM as well. I was wrong. Still in his bike, the young man picked a used plastic glass lied in front of the ATM room using a stick. Then he handed over the plastic glass to the kid behind him to be put in their plastic bag. Yes, right! The young man is a waste taker. He collects used plastic waste and sells it to a dealer for living. Suddenly, I remember my son and my wife at home. I realize no matter how hard my job is, I am still much luckier than that young man. Bur sometimes we forget to be grateful for everything we receive from Allah SWT. Hope the young man and his kid are alright and get a better life.
Wednesday, July 16, 2008
CerPenLi (Cerita Pendek Sekali)
Norak elo!
Sudah setahun tragedy itu berlalu. Tak terhitung berapa film documenter di TV yang sudah aku rekam di VCR bekas yang aku beli dari toko barang second hand. Setiap kali ada berita tentang tragedy itu, tak terasa air mata merembes menerobos mengalahkan ego kulturalku yang menngharamkan lelaki untuk menangis. Teringat juga penerbanganku ke Denpasar beberapa bulan yang lalu. Melihat dua wanita setengah baya yang belum sembuh benar dari luka bakar yang berat. Sesak dada ini ketika turun dari pesawat dan mendapati tanpa ada penyambutan secara formal ataupun informal dari government official atau kawan-kawan media massa. Hanya petugas imigrasi yang menanyai apa yang terjadi denga mereka. Itupun tetap dengan gaya aparat birokrat yang mengiterogasi.
“Waktu itu di dalam club ya?” tanya petugas imigrasi.
“Di club gimana, lha wong kami cuma mau cari makan dan kebetulan lewat di depan club kok.”
“ Emang saya ini ada pawakan untuk masuk ke tempat gituan apa,” salah satu wanita itu menjawab dengan menahan jengkel. Kelihatannya mereka bukan orang Bali dilihat dari logatnya.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah dua wanita itu. Aku yakin dua wanita itu tidak mengharapkan bahwa mereka akan disambut dengan penuh penghormatan. Mungkin hanya aku saja yang terlalu sensitive and berharap yang berlebihan bahwa masih ada penghormatan dan pernyataan turut prihatin atas musibah yang menimpa dua wanita itu.
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Dua hari yang lalu, SBS menayangkan satu lagi film dokumenter yang menginvestigasi secara mendalam tentang orang-orang Indonesia turut menjadi korban dan apa yang terjadi pada keluarga yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya pada tragedy satu tahun yang lalu.
Terhenyak waktu melihat salah satu wanita yang diwawancarai adalah satu dari dua orang wanita yang berada pada penerbangan yang sama dengan aku beberapa bulan yang lalu. Sudah cukup lumayan waktu yang aku kuluangkan ntuk mencari tahu siapa mereka dan aku tidak berhasil menemukan mereak. Mereka invisible di media massa di negaraku. Senang rasanya, melihat ibu itu kondisinya semakin membaik meskipun masih panjang jalannya untuk bisa kembali normal seperti sedia kala. Kata dokter Australia yang menanganinya, diperlukan waktu enam bulan lagi agar luka bakar di wajahnya membaik dan dapat dilakukan operasi plastik.
“La!”
Suara dibelakangku mengagetkanku. Ternyata Lu udah berdiri di belakangku.
“Apa sih…bikin kaget aja,” tanyaku males.
“Elo ngetik apa sih. Sentimentil banget. Tentang bom Bali lagi ya?” tanya Lu.
Aku gak menjawab karena ujung-ujungnya entar pasti argumen yang tak berkesudahan.
“Ngapain sih elo mikirin banget. Itu kan udah lewat. Namanya juga musibah. Ya udah terima ajalah,” Lu nyerocos gak ada habisnya.
“Lagian si Amrozi sama Imam Samudra kan udah divonis mati. Habis perkara. Elo mikir sampe kusut juga gak akan ngerubah apa-apa. Udah. Jangan nangis lagi elo kayak kemarin. Masak nonton berita aja sampe nangis sih. Norak ah elo.”
Aku masih gak bisa mengeluarkan kata apapun. Mulutku seperti terkunci. Aku nggak tahu mau bagaimana lagi kalau orang perhatian malah dibilang norak.
Kata-kata itu masih tergiang-ngiang nggak hilang-hilang dari kupingku.
Norak.
Apa iya aku norak ya?
Aku norak ya? Iya…’La’ NORAK banget…Apalagi ‘Lu’…
Sudah setahun tragedy itu berlalu. Tak terhitung berapa film documenter di TV yang sudah aku rekam di VCR bekas yang aku beli dari toko barang second hand. Setiap kali ada berita tentang tragedy itu, tak terasa air mata merembes menerobos mengalahkan ego kulturalku yang menngharamkan lelaki untuk menangis. Teringat juga penerbanganku ke Denpasar beberapa bulan yang lalu. Melihat dua wanita setengah baya yang belum sembuh benar dari luka bakar yang berat. Sesak dada ini ketika turun dari pesawat dan mendapati tanpa ada penyambutan secara formal ataupun informal dari government official atau kawan-kawan media massa. Hanya petugas imigrasi yang menanyai apa yang terjadi denga mereka. Itupun tetap dengan gaya aparat birokrat yang mengiterogasi.
“Waktu itu di dalam club ya?” tanya petugas imigrasi.
“Di club gimana, lha wong kami cuma mau cari makan dan kebetulan lewat di depan club kok.”
“ Emang saya ini ada pawakan untuk masuk ke tempat gituan apa,” salah satu wanita itu menjawab dengan menahan jengkel. Kelihatannya mereka bukan orang Bali dilihat dari logatnya.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah dua wanita itu. Aku yakin dua wanita itu tidak mengharapkan bahwa mereka akan disambut dengan penuh penghormatan. Mungkin hanya aku saja yang terlalu sensitive and berharap yang berlebihan bahwa masih ada penghormatan dan pernyataan turut prihatin atas musibah yang menimpa dua wanita itu.
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Dua hari yang lalu, SBS menayangkan satu lagi film dokumenter yang menginvestigasi secara mendalam tentang orang-orang Indonesia turut menjadi korban dan apa yang terjadi pada keluarga yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya pada tragedy satu tahun yang lalu.
Terhenyak waktu melihat salah satu wanita yang diwawancarai adalah satu dari dua orang wanita yang berada pada penerbangan yang sama dengan aku beberapa bulan yang lalu. Sudah cukup lumayan waktu yang aku kuluangkan ntuk mencari tahu siapa mereka dan aku tidak berhasil menemukan mereak. Mereka invisible di media massa di negaraku. Senang rasanya, melihat ibu itu kondisinya semakin membaik meskipun masih panjang jalannya untuk bisa kembali normal seperti sedia kala. Kata dokter Australia yang menanganinya, diperlukan waktu enam bulan lagi agar luka bakar di wajahnya membaik dan dapat dilakukan operasi plastik.
“La!”
Suara dibelakangku mengagetkanku. Ternyata Lu udah berdiri di belakangku.
“Apa sih…bikin kaget aja,” tanyaku males.
“Elo ngetik apa sih. Sentimentil banget. Tentang bom Bali lagi ya?” tanya Lu.
Aku gak menjawab karena ujung-ujungnya entar pasti argumen yang tak berkesudahan.
“Ngapain sih elo mikirin banget. Itu kan udah lewat. Namanya juga musibah. Ya udah terima ajalah,” Lu nyerocos gak ada habisnya.
“Lagian si Amrozi sama Imam Samudra kan udah divonis mati. Habis perkara. Elo mikir sampe kusut juga gak akan ngerubah apa-apa. Udah. Jangan nangis lagi elo kayak kemarin. Masak nonton berita aja sampe nangis sih. Norak ah elo.”
Aku masih gak bisa mengeluarkan kata apapun. Mulutku seperti terkunci. Aku nggak tahu mau bagaimana lagi kalau orang perhatian malah dibilang norak.
Kata-kata itu masih tergiang-ngiang nggak hilang-hilang dari kupingku.
Norak.
Apa iya aku norak ya?
Aku norak ya? Iya…’La’ NORAK banget…Apalagi ‘Lu’…
Tuesday, July 15, 2008
Indonesian Fear Factor
It’s not about hanging on a rope tied to a helicopter or eating animal bowels and insects. It isn’t about ghost either….
This is the story. I have a younger brother. He works at a government institution. His job is auditing cash flow of other government institutions. Last month he got duty to dig any financial document of a kabupaten (it’s like county) in his province.
I called him several times during that period. I asked him whether he had problem or not in doing his job. He said that the job was easy. Collecting documents to be audited by a team, that will judge cash flow of the government institution is well organized or not, was a piece of cake. Easy. But…there is another problem. It’s kind of common when a team of a higher institution dig information of a lower institution, the people of that institution being observed are freak out. Especially when they knew that their mistake would be found out by the auditor. They will do anything to satisfy the auditor. They’ll bring food and merchandise for the team (it’s like UPETI, isn’t it?), pay their hotel and transportation….even they’ll bring the team some money. That’s right…they will try to bribe the team. For my brother, it’s the hardest thing in doing his job. He CAN NOT accept that kind of money. I told him that is our fear factor. That is INDONESIAN FEAR FACTOR.
This is the reason….It’s kind of a test to our dignity and our faith because it easy for us to SAY no to corruption but when we face the situation where other people give us some money (hey, it’s a lot of money...) to influence our decision about their interest in an institution…it’s HARD to say NO…especially when your personal financial is in trouble. Maybe your wife need to go to beauty center, your kids need to pay their school fee or maybe you are dying to get money for your wedding…or anything…IT IS HARD TO REFUSED THAT KIND MONEY …And based on my brother and my experience, most people will FAIL to say NO to bribing money. For instance: in a team of four people, only one will survive in the struggling to refuse bribing. Wish I was wrong.
Alhamdulillah my brother proved that FEAR (to refuse bribing money) IS NOT HIS FACTOR. He was inspired by a Hollywood movie about bad cops called ‘American Gangster’. But it’s still long way to go for his struggle to make his institution clean. We need your pray…
One question…If he can keep his faith…can I do that same thing?…can you?...
This is the story. I have a younger brother. He works at a government institution. His job is auditing cash flow of other government institutions. Last month he got duty to dig any financial document of a kabupaten (it’s like county) in his province.
I called him several times during that period. I asked him whether he had problem or not in doing his job. He said that the job was easy. Collecting documents to be audited by a team, that will judge cash flow of the government institution is well organized or not, was a piece of cake. Easy. But…there is another problem. It’s kind of common when a team of a higher institution dig information of a lower institution, the people of that institution being observed are freak out. Especially when they knew that their mistake would be found out by the auditor. They will do anything to satisfy the auditor. They’ll bring food and merchandise for the team (it’s like UPETI, isn’t it?), pay their hotel and transportation….even they’ll bring the team some money. That’s right…they will try to bribe the team. For my brother, it’s the hardest thing in doing his job. He CAN NOT accept that kind of money. I told him that is our fear factor. That is INDONESIAN FEAR FACTOR.
This is the reason….It’s kind of a test to our dignity and our faith because it easy for us to SAY no to corruption but when we face the situation where other people give us some money (hey, it’s a lot of money...) to influence our decision about their interest in an institution…it’s HARD to say NO…especially when your personal financial is in trouble. Maybe your wife need to go to beauty center, your kids need to pay their school fee or maybe you are dying to get money for your wedding…or anything…IT IS HARD TO REFUSED THAT KIND MONEY …And based on my brother and my experience, most people will FAIL to say NO to bribing money. For instance: in a team of four people, only one will survive in the struggling to refuse bribing. Wish I was wrong.
Alhamdulillah my brother proved that FEAR (to refuse bribing money) IS NOT HIS FACTOR. He was inspired by a Hollywood movie about bad cops called ‘American Gangster’. But it’s still long way to go for his struggle to make his institution clean. We need your pray…
One question…If he can keep his faith…can I do that same thing?…can you?...
Thursday, July 03, 2008
PRESUMPTION OF INNOCENCE
Mengejutkan…
Kemarin aku mendengar cerita yang mengejutkan benak kesadaranku. Cerita dari kampong halaman. Tentang lomba drumband antar TK se-kabupaten. Iya…TK…Taman Kanak-Kanak.
Yang menggemparkan akalku bukan tentang lomba drumbandnya atau anak-anak TKnya yang innocence. Karena melihat mereka berlatih atau berlomba saja, pastilah pengalaman yang mengasyikkan. Bagaimana mereka memainkan lagu Abang Tukang Baso dengan cemerlang dan berdentum. Juga ketika seorang anak lupa arah barisannya sehingga mengakibatkan tabrakan beruntun yang lucu sekaligus membuat pelatih drumbandnya, yang sudah setengah baya, berteriak-teriak dramatis seperti komandan tentara saja.
Aktifitas yang seharusnya penuh dengan gegap gempita keluguan anak kecil jadi sesuatu yang mengerikan ketika dilombakan. Tiap sekolah ingin menunjukkan pada DUNIA (dunia mana? Wong Cuma seKabupaten ini lho…) bahwa sekolahnya adalah TK favorit yang punya grup drumband hebat dengan memenangkan trophy pak Bupati. Terus pelatih drumbandnya merasa lomba itu merupakan pertaruhan kredibilitas kepelatihannya yang tidak boleh dinodai dengan kekalahan.
Walhasil, segala cara ditempuh untuk menang. Pelatih menggunakan metode yang sama antara melatih siswa TK dengan siswa SMA. Termasuk bentakan-bentakan ala militer yang bisa saja membuat anak kecil trauma. Yang terparah, pihak sekolah dengan teganya merusak keluguan yang indah dari anak kecil dengan melakukan kecurangan administrasi. Alumni TK yang notabene sudah kelas 1 SD dipanggil lagi untuk memainkan melodi yang sulit. Lho? Kan lombanya antar TK? Itulah, anak SD kelas 1 itupun diberi data diri palsu untuk mengelabui panitia lomba…
I don’t know what to say…
Praktek semacam itu juga sering terjadi di lomba-lomba antar SMP, antar SMA, antar Kampung dengan menyewa orang diluar lingkungannya untuk memenangkan lomba. Dengan imbalan tentunya.
Tapi…ketika hal itu dilakukan dilingkungan Taman Kanak-Kanak. It’s too much,isn't it?…berlebihan…
Parah kan budaya kita…it’s time to change…berubahlah…
Satu kebohongan hanya akan menghasilkan kebohongan yang lainnya…
Gusti Mboten Sare…Tuhan Tidak Tidur…
Kemarin aku mendengar cerita yang mengejutkan benak kesadaranku. Cerita dari kampong halaman. Tentang lomba drumband antar TK se-kabupaten. Iya…TK…Taman Kanak-Kanak.
Yang menggemparkan akalku bukan tentang lomba drumbandnya atau anak-anak TKnya yang innocence. Karena melihat mereka berlatih atau berlomba saja, pastilah pengalaman yang mengasyikkan. Bagaimana mereka memainkan lagu Abang Tukang Baso dengan cemerlang dan berdentum. Juga ketika seorang anak lupa arah barisannya sehingga mengakibatkan tabrakan beruntun yang lucu sekaligus membuat pelatih drumbandnya, yang sudah setengah baya, berteriak-teriak dramatis seperti komandan tentara saja.
Aktifitas yang seharusnya penuh dengan gegap gempita keluguan anak kecil jadi sesuatu yang mengerikan ketika dilombakan. Tiap sekolah ingin menunjukkan pada DUNIA (dunia mana? Wong Cuma seKabupaten ini lho…) bahwa sekolahnya adalah TK favorit yang punya grup drumband hebat dengan memenangkan trophy pak Bupati. Terus pelatih drumbandnya merasa lomba itu merupakan pertaruhan kredibilitas kepelatihannya yang tidak boleh dinodai dengan kekalahan.
Walhasil, segala cara ditempuh untuk menang. Pelatih menggunakan metode yang sama antara melatih siswa TK dengan siswa SMA. Termasuk bentakan-bentakan ala militer yang bisa saja membuat anak kecil trauma. Yang terparah, pihak sekolah dengan teganya merusak keluguan yang indah dari anak kecil dengan melakukan kecurangan administrasi. Alumni TK yang notabene sudah kelas 1 SD dipanggil lagi untuk memainkan melodi yang sulit. Lho? Kan lombanya antar TK? Itulah, anak SD kelas 1 itupun diberi data diri palsu untuk mengelabui panitia lomba…
I don’t know what to say…
Praktek semacam itu juga sering terjadi di lomba-lomba antar SMP, antar SMA, antar Kampung dengan menyewa orang diluar lingkungannya untuk memenangkan lomba. Dengan imbalan tentunya.
Tapi…ketika hal itu dilakukan dilingkungan Taman Kanak-Kanak. It’s too much,isn't it?…berlebihan…
Parah kan budaya kita…it’s time to change…berubahlah…
Satu kebohongan hanya akan menghasilkan kebohongan yang lainnya…
Gusti Mboten Sare…Tuhan Tidak Tidur…
Subscribe to:
Posts (Atom)