Wednesday, July 16, 2008

CerPenLi (Cerita Pendek Sekali)

Norak elo!

Sudah setahun tragedy itu berlalu. Tak terhitung berapa film documenter di TV yang sudah aku rekam di VCR bekas yang aku beli dari toko barang second hand. Setiap kali ada berita tentang tragedy itu, tak terasa air mata merembes menerobos mengalahkan ego kulturalku yang menngharamkan lelaki untuk menangis. Teringat juga penerbanganku ke Denpasar beberapa bulan yang lalu. Melihat dua wanita setengah baya yang belum sembuh benar dari luka bakar yang berat. Sesak dada ini ketika turun dari pesawat dan mendapati tanpa ada penyambutan secara formal ataupun informal dari government official atau kawan-kawan media massa. Hanya petugas imigrasi yang menanyai apa yang terjadi denga mereka. Itupun tetap dengan gaya aparat birokrat yang mengiterogasi.
“Waktu itu di dalam club ya?” tanya petugas imigrasi.
“Di club gimana, lha wong kami cuma mau cari makan dan kebetulan lewat di depan club kok.”
“ Emang saya ini ada pawakan untuk masuk ke tempat gituan apa,” salah satu wanita itu menjawab dengan menahan jengkel. Kelihatannya mereka bukan orang Bali dilihat dari logatnya.

Sesekali aku mencuri pandang ke arah dua wanita itu. Aku yakin dua wanita itu tidak mengharapkan bahwa mereka akan disambut dengan penuh penghormatan. Mungkin hanya aku saja yang terlalu sensitive and berharap yang berlebihan bahwa masih ada penghormatan dan pernyataan turut prihatin atas musibah yang menimpa dua wanita itu.
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Dua hari yang lalu, SBS menayangkan satu lagi film dokumenter yang menginvestigasi secara mendalam tentang orang-orang Indonesia turut menjadi korban dan apa yang terjadi pada keluarga yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya pada tragedy satu tahun yang lalu.

Terhenyak waktu melihat salah satu wanita yang diwawancarai adalah satu dari dua orang wanita yang berada pada penerbangan yang sama dengan aku beberapa bulan yang lalu. Sudah cukup lumayan waktu yang aku kuluangkan ntuk mencari tahu siapa mereka dan aku tidak berhasil menemukan mereak. Mereka invisible di media massa di negaraku. Senang rasanya, melihat ibu itu kondisinya semakin membaik meskipun masih panjang jalannya untuk bisa kembali normal seperti sedia kala. Kata dokter Australia yang menanganinya, diperlukan waktu enam bulan lagi agar luka bakar di wajahnya membaik dan dapat dilakukan operasi plastik.
“La!”
Suara dibelakangku mengagetkanku. Ternyata Lu udah berdiri di belakangku.
“Apa sih…bikin kaget aja,” tanyaku males.
“Elo ngetik apa sih. Sentimentil banget. Tentang bom Bali lagi ya?” tanya Lu.
Aku gak menjawab karena ujung-ujungnya entar pasti argumen yang tak berkesudahan.
“Ngapain sih elo mikirin banget. Itu kan udah lewat. Namanya juga musibah. Ya udah terima ajalah,” Lu nyerocos gak ada habisnya.
“Lagian si Amrozi sama Imam Samudra kan udah divonis mati. Habis perkara. Elo mikir sampe kusut juga gak akan ngerubah apa-apa. Udah. Jangan nangis lagi elo kayak kemarin. Masak nonton berita aja sampe nangis sih. Norak ah elo.”
Aku masih gak bisa mengeluarkan kata apapun. Mulutku seperti terkunci. Aku nggak tahu mau bagaimana lagi kalau orang perhatian malah dibilang norak.

Kata-kata itu masih tergiang-ngiang nggak hilang-hilang dari kupingku.

Norak.

Apa iya aku norak ya?

Aku norak ya? Iya…’La’ NORAK banget…Apalagi ‘Lu’…

No comments: